Awalnya, aku hanya mendengar sepintas tentang tenun Pringgasela dari seorang teman. Ia menggambarkannya sebagai sebuah pengalaman yang tak terlupakan, menyaksikan para penenun dengan cekatan mengolah benang menjadi kain yang bernilai seni tinggi. Rasa penasaran itu pun membuncah, dan tanpa pikir panjang aku langsung memesan tiket ke Lombok.
Perjalanan menuju Desa Pringgasela cukup menantang, jalanan berkelok-kelok dan menanjak khas pedesaan. Namun, pemandangan alam yang hijau dan asri sepanjang perjalanan berhasil membius rasa lelahku. Sesampainya di desa, aku disambut oleh suasana yang tenang dan damai, jauh dari hiruk-pikuk kota. Rumah-rumah penduduk berjajar rapi, dengan halaman yang ditumbuhi berbagai tanaman. Suasana pedesaan yang autentik ini langsung membuatku merasa nyaman dan betah.

Aku langsung menuju pusat tenun Pringgasela yang terletak di jantung desa. Bangunannya sederhana, namun terawat dengan baik. Di sana, aku disambut oleh Ibu Ani, seorang penenun yang sudah berpengalaman puluhan tahun. Wajahnya ramah dan senyumnya hangat, membuatku merasa seperti sudah mengenal beliau sejak lama.
Ibu Ani dengan sabar menjelaskan proses pembuatan tenun Pringgasela dari awal hingga akhir. Pertama, ia menunjukkan kepada ku benang-benang kapas yang telah dipintal. Benang-benang ini terlihat begitu halus dan lembut, hasil dari proses pemintalan yang dilakukan secara manual. Ia menjelaskan bahwa proses pemintalan ini membutuhkan ketelitian dan kesabaran ekstra, karena sedikit saja kesalahan dapat merusak seluruh benang. Bayangkan, proses ini dilakukan secara manual, tanpa bantuan mesin! Sungguh luar biasa!
Selanjutnya, Ibu Ani memperlihatkan alat tenun tradisional yang digunakan. Alat tenun ini terbuat dari kayu dan bambu, sederhana namun sangat efektif. Aku memperhatikan dengan seksama bagaimana beliau mengatur benang-benang tersebut di atas alat tenun, dengan gerakan tangan yang begitu terampil dan lincah. Gerakan tangannya begitu halus dan pasti, seolah-olah ia sedang menari bersama benang-benang tersebut.
Proses penenunan itu sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama, tergantung pada kerumitan motif dan ukuran kain. Sebuah selendang saja bisa memakan waktu berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Bayangkan betapa banyak waktu, tenaga, dan kesabaran yang dibutuhkan untuk menghasilkan sehelai kain tenun Pringgasela. Ini bukan sekadar kain, melainkan sebuah karya seni yang sarat dengan nilai budaya dan sejarah.
Motif-motif tenun Pringgasela sangat beragam, dari motif geometris sederhana hingga motif flora dan fauna yang rumit. Setiap motif memiliki makna dan filosofi tersendiri, yang terinspirasi dari alam sekitar dan kehidupan masyarakat Lombok Timur. Aku melihat motif-motif seperti bunga ceplok, sambiloto, dan kupu-kupu, semuanya begitu indah dan penuh detail. Ibu Ani menjelaskan bahwa setiap motif memiliki cerita dan sejarahnya masing-masing, yang diwariskan turun-temurun dari generasi ke generasi.
Selama berada di pusat tenun, aku tak hanya mengamati proses pembuatan tenun, tetapi juga berkesempatan untuk mencoba menenun sendiri. Tentu saja, hasilnya jauh dari sempurna, tapi pengalaman mencoba menenun sendiri memberikan saya pemahaman yang lebih mendalam tentang proses pembuatan tenun Pringgasela. Tangan saya terasa pegal, namun rasa puas dan bangga menghangatkan hati.
Selain proses pembuatan tenun, aku juga berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan para penenun lainnya. Mereka bercerita tentang kehidupan mereka, tantangan yang mereka hadapi, dan harapan mereka untuk masa depan. Dari perbincangan tersebut, aku belajar banyak tentang semangat dan keuletan para penenun Pringgasela dalam melestarikan warisan budaya mereka.
Menjelang sore, aku pamit kepada Ibu Ani dan para penenun lainnya. Hatiku dipenuhi dengan rasa kagum dan kekaguman yang mendalam. Kunjungan ke Pusat Tenun Pringgasela bukan hanya sekadar wisata, tetapi juga sebuah pengalaman belajar yang berharga. Aku belajar tentang proses pembuatan tenun tradisional, nilai budaya yang terkandung di dalamnya, dan semangat para penenun dalam melestarikan warisan budaya mereka.
Sekarang, aku kembali ke rutinitas, namun kenangan tentang Desa Pringgasela dan tenunnya akan selalu terukir di hati. Perjalanan ini telah memperkaya pengalaman hidupku dan membuka mata tentang keindahan budaya Indonesia.
Pertanyaan yang sering muncul di mesin pencari dan jawabannya:
-
Berapa harga tenun Pringgasela? Harga tenun Pringgasela bervariasi tergantung pada kerumitan motif, ukuran kain, dan kualitas bahan. Sebuah selendang sederhana mungkin dihargai mulai dari Rp 200.000,- hingga jutaan rupiah untuk kain tenun yang lebih rumit dan berukuran besar. Harga terbaik bisa didapatkan langsung dari penenun di desa.
-
Apakah tenun Pringgasela bisa dibeli secara online? Ya, beberapa penenun Pringgasela kini telah memasarkan produknya secara online melalui platform seperti Instagram, Shopee, atau Tokopedia. Namun, untuk memastikan keaslian dan kualitasnya, sebaiknya Anda membeli langsung dari penenun atau melalui agen yang terpercaya.
-
Bagaimana cara menjaga tenun Pringgasela agar tetap awet? Tenun Pringgasela sebaiknya dicuci dengan tangan menggunakan deterjen lembut dan air dingin. Hindari penggunaan mesin cuci dan pemutih. Setelah dicuci, kain harus dikeringkan di tempat teduh dan dihindari dari sinar matahari langsung. Penyimpanan yang baik juga penting, sebaiknya disimpan di tempat yang kering dan terhindar dari serangga.
Semoga cerita petualanganku ini menginspirasi kalian untuk mengunjungi Desa Pringgasela dan merasakan sendiri keindahan dan keunikan tenun khas Lombok Timur. Ada banyak hal lain yang bisa dijelajahi di Lombok Timur, lalu apa yang akan kamu eksplor selanjutnya?